BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT

BKM adalah institusi warga yang kemunculannya di masyarakat dimaksudkan sebagai organisasi masyarakat warga yang berpihak membantu kebutuhan masyarakat, khususnya yang terkait dengan kemiskinan. Di samping kehadirannya yang juga dimaksudkan sebagai lembaga yang bertanggungjawab menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambil keputusan yang kondusif bagi warga masyarakat, BKM secara formal adalah lembaga kolektif yang merumuskan unsur-unsur strategis bagi kepentingan masyarakat, sehingga kerangka yang digunakan untuk merumuskan suatu ‘policy’, haruslah partisipatif.

Dalam implementasinya, sebuah kebijakan BKM dilakukan secara teknis oleh Unit Pengelola. UPK sebagai Unit Pengelola Keuangan yang bertugas menyalurkan keuangan kepada KSM melalui keputusan BKM. Ditambah dengan Unit Pengelola Lingkungan, Unit Pengelola Sosial serta Unit Pengaduan Masyarakat, membuat BKM cukup sebagai ‘catalytic agent’ yang cenderung berperan memberi arahan, tidak perlu menjalankan sendiri.

Hanya saja, sesuai dengan berjalannya waktu, kehadirannya BKM di tengah-tengah masyarakat, memunculkan semacam bias dari peran fungsi yang melekat pada BKM. Terjadi ketidakrelaan BKM, terutama manakala ada Unit Pelaksana yang mempunyai prospek bagus ke depan. Disisi lain, juga terjadi ketidakmampuan BKM dalam menjalankan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Pertanyaannya sekarang, peran seperti apakah yang seharusnya dimainkan oleh para anggota BKM dalam mengakomodasi kehendak warga masyarakat, ke depan? Pertanyaan ini menjadi penting karena, pertama, tugas pokok dan fungsi BKM, hanya pada merumuskan, mengorganisasikan, monitoring dan mendorong proses partisipasi warga masyarakat, terkait dengan program penangulangan kemiskinan dan pembangunan di wilayah setempat. Walau, hal ini belum bisa dirasakan sepenuhnya, karena optimalisasi peran BKM dalam mengatur peran UPK dan UP lainya, baik secara administratif maupun subtansial, belumlah terjadi, sehingga profesionalitas dari lembaga Unit Pelaksana BKM, belumlah nampak.

Kedua, kinerja BKM secara ‘catalytic agen’ masih sangat sulit untuk dilakukan, dan sekarang justru menimbulkan persoalan yang baru. Potensi yang dimiliki BKM, sementara ini masih berkutat pada persoalan ekonomi. Akan tetapi persoalan lain, sosial dan lingkungan belum ada 'equity' (kesamaan) dalam hal penangananya. Persoalan ini dipicu akibat pemahaman anggota BKM belum selesai pada tataran konsep awal dibentuknya kelembagaan ini. Selain itu juga, kerap terjadi sikap pluralitas kepentingan di dalam tubuh BKM, sehingga menimbulkan tarik-ulur kepentingan di dalamnya.

Karena persoalan BKM ini berlingkup nasional, dimana telah terbentuk jumlah BKM yang berkisar ribuan, mulai P2KP 1 tahap 1 hingga P2KP 1 tahap 2, tentu membutuhkan penanganan yang serius, sehingga diharapkan tidak menimbulkan gejolak sosial. Bagaimanapun juga, sosok BKM, dengan segala sisi kekurangannya, adalah sosok lembaga repersentatif warga yang mencoba mengabdikan diri pada bangsanya yang tengah dilanda krisis kemiskinan ini. Oleh karena itu, penanganan yang salah, tentu akan menimbulkan hasil yang tidak maksimal pula.

Dari sinilah, pentingnya kita memikirkan kiprah BKM dalam membantu pengentasan kemiskinan di masyarakat. Penting atau tidak penting, semuanya akan sangat tergantung pada masyarakat, sebab, dalam hal ini, proses pemberdayaan masyarakat perlu ditegakkan. Dalam upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan yang berorentasi pemberdayaan masyarakat, mensyaratkan adanya keikutsertaan pemerintah, swasta, publik atau masyarakat dalam pelibatannya pada proses penyelesaian masalah. Dengan demikian, penyelesaian masalah BKM harus mengakomodasi kepentingan semua pihak, karena ini merupakan cermin proses pembangunan dengan fokus keberlanjutan yang berorentasi pada pembangunan manusia.

Sehingga, yang menarik sekarang adalah bagaimana format yang tepat dalam menggagas keterlibatan seluruh komponen dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Yang pada akhirnya, perlu diwujudkan suatu konsep kemandirian BKM berkelanjutan, dengan adanya sinergitas BKM dengan UPK serta UP yang lain, dalam rangka penganggulangan kemiskinan.

Pertanyaan diatas adalah inti dari pertanyaan-pertanyaan lain yang akan diajukan berikutnya, untuk dapat membangun kemandirian dan sinergitas BKM dengan pelaku P2KP lainnya. Agar tujuan dari keberadaan BKM, dalam memberdayakan peran UP lainnya, baik dalam tataran adminstratif maupun subtansinya, sudah sesuai dengan mekanisme. Sehingga, akan berjalan fungsi-fungsi pendelegasian serta wewenang, dari BKM kepada Unit Pengelola-Unit Pengelolanya.

Solusi yang ditawarkan, pertama, adanya evaluasi kondisi terakhir BKM, UPK, UP untuk memperoleh: (1) Informasi yang valid tentang kinerja BKM, UPK, UP; (2) Menilai keberhasilan tujuan atau target BKM, UPK, UP dengan masalah yang dihadapi; (3) Untuk memberi rekomendasi untuk perbaikan kinerja BKM, UPK, UP.

Langkah yang kedua, dengan mengadakan sebuah musyawarah bersama. BKM, UPK, UP, yang akan merumuskan secara spesifik dan akurat keinginan bersama. Musyawarah bersama ini, sekaligus merupakan pengambilan kebijakan yang hasil-hasilnya akan diserahkan pada FKA BKM untuk dibahas dan disahkan sebagai keputusan dalam pembagian tugas bersama. Diharapkan, dengan ini akan menciptakan kondisi saling ketergantungan antara ketiga kekuatan, yakni BKM, UPK dan UP tersebut.